CirebonTrend.id – INDRAMAYU – Komunitas Pangauban Sungai Cimanuk mulai dari hulu, tengah, hingga hilir dan penggiat budaya dari Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu kembali menggelar Tradisi Tepung Toya di Ranggon Cimanuk, Museum Bandar Cimanuk, Indramayu. Minggu 9 Februari 2025.
Acara yang telah berlangsung selama 14 tahun ini merupakan bentuk penghormatan terhadap alam, khususnya aliran Sungai Cimanuk, dari hulu hingga hilir.
Nang Sadewo, tokoh masyarakat dan penggiat budaya dari Indramayu, menjelaskan bahwa tradisi ini memiliki dua konsep ritus, salah satunya adalah ‘Ngawor’.
“Ngawor adalah penyatuan air dari hulu Sungai Cimanuk, yaitu Gunung Papandayan, Mandala Giri, dan Cikurai, serta dari Jati Gede, hingga ke Indramayu. Air ini kemudian disatukan di muara-muara Cimanuk, seperti Tiris, Muara Song Lama, dan Muara Cantigi,” jelasnya kepada CirebonTrend.
Menurut Sadewo, Ngawor melambangkan kesatuan aliran Sungai Cimanuk yang memiliki ‘patanjala’, yaitu konsep pemetaan aliran sungai dari hulu hingga hilir.
“Ini menunjukkan bahwa setiap bagian dari sungai memiliki peran penting dalam membentuk keseluruhan sistem yang rapi,” tambahnya.
Tradisi ini dihadiri oleh perwakilan komunitas dari Garut (hulu), Sumedang dan Majalengka (tengah), serta Indramayu (hilir). Acara ini rutin dilaksanakan berdasarkan kalender Jawa dan Islam. “Jika tahun ini jatuh pada 9 Februari, tahun depan mungkin bergeser ke akhir bulan Rajab,” jelas Sadewo.
Tradisi Tepung Toya bukan sekadar ritual, melainkan juga bentuk evaluasi terhadap pengelolaan alam, khususnya air. “Alam adalah rahmat bagi semua. Bumi sebagai *indung* (ibu) harus dijaga dan dimuliakan. Sebagai khalifah, kita bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam, terutama air,” tegas Sadewo.
Ia menekankan pentingnya pengelolaan saluran air yang baik, terutama dalam menghadapi fenomena banjir rob. “Banjir rob bukanlah musibah, melainkan bagian dari sistem alam. Jika saluran air baik, air akan mengalir lancar ke muara. Namun, jika sampah dari darat menumpuk di laut, laut akan ‘memuntahkan’ kembali sampah tersebut ke darat,” ujarnya.
Selain itu, acara ini juga diisi dengan pembacaan *Kidung Rahayu* yang diiringi alat musik tradisional Karinding. “Bunyi musik yang rendah justru memiliki getaran tinggi. Ini adalah simbol spiritual bahwa sekecil apa pun kekuatan air, ia tetap memiliki kekuatan yang besar,” jelas Sadewo.
Meskipun mendapat dukungan dari pemerintah, komunitas ini berusaha untuk tidak terlalu bergantung pada anggaran resmi. “Kami tetap menjalankan tradisi ini, ada APBD atau tidak. Kami berharap ke depannya, tradisi ini bisa menjadi ritual rutin yang lebih seremonial dan dianggarkan oleh pemerintah,” ujar Sadewo.
Tradisi Tepung Toya diharapkan dapat menjadi bagian dari Festival Cimanuk, yang tidak hanya bersifat sakral tetapi juga menghibur masyarakat. “Dengan begitu, masyarakat dapat lebih mengenal kekayaan budaya di sepanjang Sungai Cimanuk, dari hulu hingga hilir,” pungkas Sadewo.